NGAWI, iNewsNgawi.id - Pengadilan Negeri Ngawi menggelar sidang putusan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dimana seorang suami didakwa melakukan penganiayaan kepada istrinya, Kamis ( 20/2).
Sang suami bernama Koko Syahputro,(30), warga desa/kecamatan Walikukun, didakwa melakukan penganiayaan kepada istrinya Devi Nendes Mita karena tersulut emosi setelah istrinya melakukan kekerasan verbal dan melecehkan kepada ibu terdakwa yang hendak berkunjung ke rumah mereka, pada Rabu, 21 Agustus 2024.
"Saat percekcokan terjadi, korban berucap 'Kudune ibumu sing metu ko omah, ora aku'. Kata-kata itu membuat pelaku marah dan melakukan kekerasan, " kata Ketua Majelis Hakim Roro Andy Nurvita dalam bacaan keputusan yang disaksikan oleh pengunjung sidang dari pihak keluarga dan pendukung para pihak.
Saksi korban, Devi Nendes Mita sendiri adalah seorang dokter yang diajukan sebagai saksi kunci kepada Reskrim Polres Ngawi oleh keluarga Nira Pranita Asih, (30), seorang warga Walikukun yang meninggal akibat dugaan malapraktek operasi gigi bungsu dalam berita iNewsNgawi.id edisi 29 Juni 2024.
Dalam perkara ini, Majelis Hakim memutuskan hukum pidana selama 2 bulan, jauh dibawah tuntutan alternatif yang diajukan Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) Laskar Sandhi Yudha selama 2 tahun 6 bulan.
"Untuk menyelesaikan perkara ini majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan jaksa penuntut umum mengenai dakwaan yang diterapkan penuntut umum maupun terhadap tuntutan pidana bebas terhadap terdakwa yang diajukan oleh penasehat hukum, majelis hakim mempunyai pemikiran, pendapat dan keyakinan sendiri terhadap penyelesaian perkara ini," kata Roro dengan menimbang dari teori hukum dan kebiasaan praktek peradilan.
"Bahwa konsekuensi yuridis dari dakwaan berbentuk alternatif yaitu majelis hakim mempunyai hak konstitusional untuk bisa langsung memilih dan menentukan dakwaan mana yang diamini oleh majelis hakim lebih tepat untuk diterapkan dalam dakwaan umum dengan memperhatikan seluruh hasil pembuktian," lanjutnya
Dari sidang pembacaan keputusan itu terungkap jika banyak ketidak sesuaian antara BAP kepolisian dan fakta persidangan yang dilakukan oleh saksi korban terutama seputar peristiwa penganiayaan.
Ketidak sesuaian itulah yang mebuat hakim memberi penilaian adanya gangguan mental dari saksi korban, sehingga dapat menjurus kepada kesaksian palsu.
"Keteranganya didepan persidangan relatif tidak sama dengan keteranganya sendiri yang diberikan dalam BAP kepolisian, dan menurut keyakinan hakim berpotensi merupakan bagian dari gejala perilaku manipulatif yang pada umumnya diderita oleh pengidap gamgguan kesehatan mental. Bahwa ketidak jujuran saksi korban dalam kontek yuridis ini secara otomatis sepadan oleh majelis hakim sebagai kebenaran fakta hukum perbuatan memberikan keterangan palsu dibawah sumpah didepan persidangan," ungkap Roro dalam pembacaan keputusanya.
Namun begitu, majelis hakim cukup jeli dalam melihat perkara ini sehingga baik saksi korban maupun terdakwa disebut sama - sama berperan dalam perkara ini sebagai pelaku dan korban.
"Kedunya, baik suami maupun istri sama-sama korban dan pelaku," kata Roro dalam sidang terbuka untuk umum itu.
Atas keputusan tersebut, Devi mengaku kecewa, karena tidak sesui tuntutan. Sedangkan seringnya ketidak sesuai keteranganya dengan para saksi dirinya menyerahkan sebagai hak saksi.
"Saya sangat kecewa karena ini tidak adil bagi saya sebagai korban, karena hukumannya dibawah 2 tahun, tidak sesuai dengan apa yang dilakukan (terdakwa) terhadap saya," kata Devi Nendes usai persidangan.
Sementara itu, Kasi intel Kejari Ngawi Danang Yudha Prawira menghormati putusan yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta penerapan pasal 44 ayat 4 UU 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan hukuman 2 tahun 6 bulan, karena menurut JPU sendiri telah berhasil membuktikan jika terdakwa ini dinyatakan bersalah.
"Yang jelas kami hormati keputusan tersebut," kata Danang mengenai adanya perbedaan tuntutan JPU dengan putusan pengadilan, dan akan melaporkan ke pimpinan.
"Karena masih ada jangka waktu 7 hari untuk menyatakan sikap langkah selanjutnya akan kita laporkan dan menunggu petunjuk seperti apa nanti keputusan dari pimpinan," pungkasnya.
Di sisi lain , Wahyu Arif Widodo selaku penasehat hukum dari terdakwa Koko Syahputra terkait dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Ngawi menyatakan masih pikir - pikir.
"Karena masih ada waktu untuk mengambil keputusan bersama klien, kita masih koordinasi apakah menerima putusan atau banding terkait putusan ini," kata Arif.
Editor : Asfi Manar
Artikel Terkait